Contoh Kasus Malpraktik RS Griya Sehat Terhadap Surti

Contoh Kasus Malpraktik RS Griya Sehat Terhadap Surti


Contoh Kasus Malpraktik RS Griya Sehat Terhadap Surti

Surti (35 tahun) sejak tahun 2003 (10 Juni) adalah pasien (mondok) RS Griya Sehat. Diagnosa ahli penyakit dan ahli ginjal RS (berdasarkan hasil lab) dinyatakan bahwa pasien mengalami gagal ginjal.

Untuk itu tidak ada cara lain selain melakukan cuci darah (hemodialisa/HD) atau melakukan cangkok ginjal. Atas diagnosa dan saran dokter, pasien menyatakan tdak bersedia melakukannya. Kemudian pasien hanya mau dilakukan pengobatan melalui obat dan suntikan.

Setelah merasa sehat, Surti atas permintaan sendiri keluar dari RS (16 Juni).

Tahun 2004 (20 September), Surti masuk RS lagi di Griya Sehat juga. Diagnosa dokter tetap sama, bahwa pasien harus melakukan cuci darah atau cangkok ginjal. Namun Surti menolak dan tetap minta pengobatan seperti tahun 2003. Setelah merasa sehat, kembali atas permintaan sendiri Surti minta pulang (5 Oktober).

Awal tahun 2007 (16 Januari), Surti dibawa lagi ke RS. Saat itu kondisinya tampak lemas, napas terengah-engah dan merasa sesak.

Saat masuk, dokter yang merawat menyatakan kritis dan tidak ada pilihan lain kecuali cuci darah. Dengan persetujuan salah satu kakaknya (Marwoto), karena Surti tidak dapat diajak bicara, kakaknya setuju untuk dilakukannya cuci darah/HD . Mengatasi masa kritis tersebut, dokter sudah menyatakan jika tubuh pasien masih mampu bertahan melewati masa kritis, HD dapat dilakukan maka akan selamat. Tetapi sebaliknya jika tidak, pasien tidak akan selamat. Atas penjelasan tersebut, keluarga pasien memahami dan menerima.

HD kemudian dilakukan dan berjalan sampai 2 kali. Pada saat dilakukan HD yang ke 3, di ruang HD tiba-tiba Surti kejang-kejang dan sesak napas. Oleh para medis yang sedang menjalankan tugas, sudah dilakukan tindakan medik, namun ternyata Surti meninggal. Surti dinyatakan meninggal pada pukul 15.30 WIB, 22 Januari. Saat itu yang menunggu yaitu Marwoto dan Martinah (adik Surti).

Marwoto dan Martinah merasa keanehan pada saat dilakukan HD yang ke 3, yaitu:
1. Kondisi Surti saat itu sebelum masuk ruang HD terlihat baik, bisa diajak omong, tidak ada tanda-tanda kritis.
2. Surti dapat menangkap pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam tubuh Surti pada saat itu dilakukan traechoscomi (lubang pernapasan lewat tenggorokan).
3. Para medik saat cuci darah tampak bergerombol dam membaca koran ataupun menonton tv di ruang HD.
4. Saat Surti kejang, ada salah stu para medik yang mengomel/komentar “baru 1 jam HD kok uda kejang-kejang”
5. Alat HD sering berbunyi dan jika berbunyi oleh para medik, alat HD ditekan-tekan oleh para medik. Setelah itu alat berhenti berbunyi
6. Pada suatu saat, alat HD berbunyi dan ditekan-tekan tetapi justru oleh cleaning service yang bukan menjadi kewenangannya.

Atas keanehan tersebut, Marwoto dan Martinah menyampaikan pada anggota keluarga yang lain (Totok, Murniati dan Sugito/saudara kandung Surti). Keanehan tersebut menyebabkan keluarga berkesimpulan bahwa para medik telah melakukan keselahan atau setidak-tidaknya melakukan kelalaian. Kemudian mereka meminta penjelasan lebih lanjut pada dokter yang merawat.

Merasa tidak puas, akhirnya mereka mencari ahli hukum (advokat) untuk menggugat RS Griya Sehat yang dinilai telah melakukan kesalahan dan/atau kelalaian dalam menangani pasien yang mengakibatkan meninggalnya pasien.

Anda diminta menjadi kuasa dan tuntutan keluarga agar RS meminta maaf secara terbuka di media cetak dan membayar ganti rugi sebesar Rp 3 Milyar.

Atas permintaan tersebut, anda menilai keluarga pasien memiliki alasan yang sah untuk mengajukan gugatan. Anda sudah menempuh upaya musyawarah kepada pihak RS tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Akhirnya anda sebagai advokat atas kuasa para saudara Surti mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Contoh Soal Latihan PLKH Praktek Peradilan TUN

Contoh Soal Latihan PLKH Praktek Peradilan TUN

Contoh Soal Latihan PLKH Praktek Peradilan Tata Usaha Negara (TUN)

Case Position
Dr. Dudy Setiawan, S.H., M.H., tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 14 Juni 1967, kewarganegaraan: Indonesia, alamat: Jl. Melati Wetan 42 Yogyakarta, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai dosen dengan kepangkatan Lektor Kepala/IV C pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tanggal 23 Januari 2010.

Konsiderans faktual dari SK Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan bahwa Dr. Dudy Setiawan, S.H., M.H. telah melanggar disiplin pegawai sebagai dosen dengan tidak pernah hadir di kantor selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang menyebabkan terganggunya proses belajar mengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Dr. Dudy berargumentasi bahwa alasan pemberhentian tersebut tidak beralasan karena yang bersangkutan merasa masih aktif mengajar dan ketidakhadirannya mengajar tidak dilakukannya seperti yang disebutkan dalam konsiderans SK tersebut, mengingat selalu memberitahukan secara resmi kepada Dekan Fakultas Hukum melalui Ketua Bagian dengan alasan melakukan penelitian di luar Jawa.

Dr. Dudy sudah melakukan upaya yang diatur dalam UU Kepegawaian untuk menyampaikan penolakannya terhadap SK Pemberhentian tersebut, namun Dekan FH UGM tetap mempertahankan SK Pemberhentian tersebut.

Soal
Jika Dr. Dudy ingin mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara dengan menunjuk Saudara sebagai kuasa hukumnya dalam kasus itu susunlah:
1. Surat Kuasa.
2. Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan kompetensinya.

Hal-hal yang belum ada dalam soal kasus itu namun diperlukan untuk kelengkapan gugatan yang disusun, silakan dilengkapi.
Materi Muatan Dari Peraturan Perundang-undangan

Materi Muatan Dari Peraturan Perundang-undangan

MATERI MUATAN DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Nama : JHOHANNES. H.S (8709)
Kelas : C
Tugas : Hukum Sarana Pemerintahan (Pak R. Sigit Widiarto, SH. M. Hum)

Materi Muatan Dari Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar 1945 :
(-) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Per-UU-an.
(-) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam LNRI.
(-) Penempatan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalm LNRI tidak merupakan dasar pemberlakuannya.

2. Undang-Undang :
Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang :
a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang meliputi :
1. Hak-hak asasi manusia
2. Hak dan kewajiban warga negara
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
4. Wilayah negara dan pembagian daerah
5. Kewarganegaraan dan kependudukan
6. keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud diatas dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
3. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak DPR maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak DPR maka Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

4. Peraturan Pemerintah
(-) Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya yang ditetapkan oleh Presiden.
(-) Setiap UU wajib mencantumkan batas waktu penetapan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan UU tersebut.
(-) Penetapan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu UU dikecualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud diatas.

5. Peraturan Presiden
(-) Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
(-) Peraturan presiden adalah Peraturan Per-UU-an yang dibuat oleh Presiden.

6. Peraturan Daerah
(-) Peraturan Daerah adalah Peraturan Per-UU-an yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(-) Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan Per-UU-an yang lebih tinggi.
(-) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya

Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya


PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PROSES PEMBUKTIANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.

Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara (Bambang Purnomo, 1983 : 14).

Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah:
1. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

4. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

5. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

6. Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-Undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.

Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya

Menurut Bambang Purnomo
:
• Ketentuan seperti tersebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).

Dalam pembuktian pada perkara tindak pidana biasa terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga pembuktian mutlak diletakkan dalam tangan Penuntut Umum. Pengertian semacam ini berpokok pada azas dari hukum pidana yaitu azas praduga tak bersalah, di mana terdakwa belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pembuktian perkara korupsi berhubungan erat dengan pengurangan hak asasi terdakwa, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian diserahkan pada kebijaksanaan hakim dengan tetap mengingat bahaya yang diakibatkan perbuatan korupsi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Langkah-langkah apa yang harus ditempuh oleh para penegak hukum dalam melakukan pembuktian perkara korupsi di pengadilan?
2. Bagaimana hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan?

C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui proses pembuktian perkara korupsi pada sidang pengadilan
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan.