UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia
Menimbang:
a. bahwa Penyelenggaraan Negara mempunyai peranan yang
sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara
untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara
sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, perlu diletakkan
asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya
dilakukan antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggaraan
Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga
diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA
YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara
Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan
hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan
Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang
selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas
untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara
untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas; dan
7. Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan
dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama,
tas, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan
tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk
apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
(1) Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan
menaati norma-norma Kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara
merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1). Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
b, dan c;
2). Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan
disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara
membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 12
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (91), Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga
terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 13
(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah
dan masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa
ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 seorang calon Anggota serendahrendahnya
berumur 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh
lima) tahun.
(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan
selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pengangkatan serta pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdirid dari
seorang Ketua merangkap Anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang
Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan
dari para Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas;
a. Sub Komisi Eksekutif;
b. Sub Komisi Legislatif;
c. Sub Komisi Yudikatif; dan
d. Sub Komisi Badan Usaha Milik Negera/Badan Usaha Milik
Daerah.
(4) Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(3) diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara
kolegial.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu
oleh Sekretariat Jenderal.
(6) Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota negara Republik
Indonesia.
(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi Seluruh wilayah
negara Republik Indonesia.
(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan
Anggota Komisi Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji, sesuai dengan agamanya,
yang berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani,
adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari
Penyelenggara Negara yang saya periksa dan akan melaksanakan kewajiban saya
dengan sebaik-baiknya, serta bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, masyarakat, bangsa dan negara”.
“Saya bersumpah dan berjanji bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan
dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diucapkan di hadapan Presiden.
Pasal 17
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah:
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai
harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d. Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan
saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak
yang terkait dengan Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang
bersangkutan;
e. Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan
sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh
dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara
Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang
bersangkutan menjabat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) hasil pemeriksanaan Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara
Negara yang dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka
hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindak
lanjuti.
Pasal 19
(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan
wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 20
(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5, atau 6 dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan
atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa
yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 22
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa
yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Undang-undang
ini mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan
harta kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap kekayaannya
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
PENJELASAN
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME
I. UMUM
1. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting
dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para
Penyelenggara Negara dan Pemimpin pemerintahan.
Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara
Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga
penyelenggara negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi
karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu,
masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol
sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara.
Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut
tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga dibidang ekonomi
dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih
menguntungkan 16 kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak
hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar-Penyelenggara Negara,
melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga kroni,
dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional
sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari
Seluruh Penyelenggara Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi
tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki
terwujudnya Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya
secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara
efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana
diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
2. Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara
Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Undang-undang ini merupakan bagian atau subsistem dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap
perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok Undang-undang ini
adalah para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga
Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Menteri,
Gubernur, Hakim, Pejabat Negara dan atau Pejabat Lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dalam Undangundang ini ditetapkan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas
tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
5. Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam
Undangundang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme, Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan
dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap
penyelenggaraan negara, dengan tetap mentaati rambu-rambu hukum yang berlaku.
6. Agar Undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara
efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang
melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan
setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara,
keluarga, dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Sususnan keanggotaan
Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi
atau kemandirian dari lembaga ini.
7. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para
Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-undang ini berlaku
bagi Penyelenggara Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya
preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya
ketentuan tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan
memperkuat norma Kelembagaan, moralitas individu, dan sosial.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Gubernur” adalah wakil Pemerintah
Pusat di daerah.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Hakim” dalam ketentuan ini meliputi
Hakim di semua tingkatan Peradilan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam
ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur,
dan Bupati/Walikotamadya.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme,
yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Pasal 3
Angka 1
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara”
adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas
yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Pasal 4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam
Pasal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oleh anggota Tentara
Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
terhadap pejabat tersebut berlaku ketentuan dalam Undang-undang ini.
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja
menghalanghalangi dalam pendataan kekayaannya, maka dikenakan sanksi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara yang didata kekayaannya oleh
Komisi Pemeriksa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, maka
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “hak dan kewajiban Penyelenggara Negara
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945” adalah hak dan
kewajiban yang dilaksanakan dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini,
adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang
dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu
kewajiban bagi masyarakat yang oleh Undang-undang ini diminta hadir dalam
proses Penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli.
Apabila oleh pihak yang berwenang dipanggil sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli dengan sengaja tidak hadir, maka dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh
informasi tentang penyelenggaraan negara, namun hak tersebut tetap harus
memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang
memberikan batasan untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya,
antara lain yang dijamin oleh Undang-undang tentang Pos dan Undangundang
tentang Perbankan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “lembaga independen” dalam Pasal ini
adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara
lainnya.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini,
harus berjumlah ganjil. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengambil keputusan
dengan suara terbanyak apabila tidak dapat dicapai pengambilan keputusan dengan
musyawarah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat
dipertanggungjawabkan, anggota sub-sub komisi harus berintegrasi tinggi,
memiliki keahlian, dan professional di bidangnya.
Dalam hal terdapat dugaan adanya Keterlibatan pihak lain
seperti keluarga, kroni, dan atau pihak lain dalam praktek korupsi, kolusi,
atau nepotisme, maka bagi keluarga, kroni, dan atau pihak lain tersebut
dikenakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan
administrasi untuk kelancaran pelaksanaan tugas Komisi Pemeriksa.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk
membantu tugas Komisi Pemeriksa di daerah Keanggotaan Komisi Pemeriksa di
daerah perlu terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi
Komisi Pemeriksa di daerah
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau
menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku
pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan
kejaksanaan. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum
seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan, sedangkan
pemeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan
jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk
tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan “petunjuk” dalam Pasal ini adalah
faktafakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Yang maksud dengan “instansi yang berwenang” adalah Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Tags : undang-undang
LAW FIRM
JH SITUMORANG & PARTNERS
Advokat yang terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), memiliki pengalaman bidang hukum. Sebelumnya pernah bergabung dengan beberapa Firma Hukum lainnya di Jakarta, Yogyakara, Bandung, dan Bali, juga pernah bergabung dengan kantor hukum di Medan.
- JH. SITUMORANG, SH. C.NS
- Lawyer
- Sumatera Utara - Indonesia
- jh@situmorang.or.id
- +62 81 297 366 877
Post a Comment